Minggu, 13 Desember 2020

MAKALAH PERAN DAN FUNGSI PANCASILA

 MAKALAH PERAN DAN FUNGSI PANCASILA




BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu Panca berarti lima dan sila berarti dasar atau azas. Pancasila berarti lima dasar atau lima azas. Diatas lima dasar inilah berdirinya Negara Republik Indonesia. Pancasila dipilih menjadi dasar negara karena Pancasila sesuai dengan alam kejiwaan bangsa kita sendiri, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Bung Karno “ sudah jelas kalau kita mau mencari dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa Indonesia” Ernest Renan mengatakan bahwa “setiap bangsa mempunyai suatu jiwa “ (une nation, est une ame). Bangsa Indonesia mempunyai satu jiwa yang disebut kepribadian bangsa Indonesia. Tegasnya Pancasila adalah manifestasi dari kepribadian bangsa Indonesia. Disamping itu Pancasila merupakan tuntunan yang dinamis, seperti Bung Karno menyebutkan  sebagai “leidster” bintang pimpinan, kearah mana bangsa dan negara Indonesia harus digerakkan.

Rumusan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai platform demokratis berbagai golongan khususnya dari kaum kebangsaan dan Islam. Pancasila ditrasformasikan menjadi konsep politik dalam konteks pemikiran politik Indonesia sebagai dasar negara berisi lima prinsip.

Pancasila sebagai dasar filsafati negara Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Sebagai suatu dasar filsafat, silasila dalam Pancasila atau kelima sila yang ada di dalamnya merupakan suatu sistim yaitu merupakan satu kesatuan yang bulat, hierarkis dan sistematis, maka kelima sila bukan terpisah pisah melainkan memiliki makna yang utuh yang merupakan sistim nilai (Kaelan,2008). Hal ini sesuai dengan pengertian sebelumnya bahwa dasar negara terkandung didalamnya seperangkat nilai. Pancasila berisi lima nilai yang merupakan nilai dasar fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai-nilai Pancasila merupakan rumusan ideal, bersifat das sollen dan cita-cita yang harus diwujudkan dalam kenyataan.


 

B.       Rumusan Masalah

1.      Apa saja fungsi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?

2.      Apa saja peran pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?

C.      Tujuan

1.      Mengetahui fungsi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

2.      Mengetahui peran pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

“FUNGSI DAN PERAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA”

A.      Pancasila Sebagai Budaya Luhur Bangsa

Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni kata  pancasyila atau pancasyiila.  Pancasyila (dengan huruf “i” pendek) yang berarti lima alas  atau lima dasar; sedangkan pancasyiila (dengan huruf “ii” panjang) yang berarti lima  peraturan tingkah laku yang baik. Dalam kajian akademik, pembahasan tentang latar  belakang Pancasila pada umumnya menunjuk pada sumber buku Negarakertagama, karya Empu Prapanca di masa Majapahit. Di dalamnya ditemukan penggunaan kata “pancasila” yang berbunyi : Yatnanggegwani pancasyila kertasangskara bhisekakarama, artinya : Raja menjalankan lima pantangan dengan setia, begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan. 

Rujukan itu menunjukkan bahwa Pancasila pada awalnya lebih dilihat pada dimensi etis-moralnya serta menjadi alasan pembenar bahwa Pancasila memiliki latar belakang sejarah serta sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian,  Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia, yang berakar sejak ratusan tahun yang silam, jauh sebelum Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Nilai-nilai itu mewarnai kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. 

Menurut Ismaun (1972), istilah Pancasila mula-mula digunakan di kalangan pemeluk Budha di India, khususnya di kalangan orang-orang biasa (bukan pendeta). Pancasila merupakan lima pantangan, yaitu :

1.    Janganlah mencabut nyawa setiap yang hidup atau dilarang membunuh;

2.    Janganlah mengambil barang yang tidak diberikan atau dilarang mencuri;

3.    Janganlah bersebadan secara tidak sah dengan perempuan atau dilarang berzina;

4.    Janganlah berkata palsu atau dilarang berdusta;

5.    Janganlah meminum minuman yang merusak pikiran, maksudnya dilarang minum minuman keras. 

Sementara itu di kalangan para pendeta (bhiksu) dikenal adanya dasasyila (sepuluh pantangan), yaitu :

1.    Dilarang membunuh;

2.    Dilarang mencuri;

3.    Dilarang berzina

4.    Dilarang berdusta;

5.    Dilarang minum minuman keras;

6.    Dilarang makan berlebih-lebihan;

7.    Dilarang hidup bermewah-mewah dan berpesiar;

8.    Dilarang memakai pakain yang bagus-bagus, perhiasan, dan wangi-wangian. 

9.    Dilarang tidur di tempat tidur yang mewah;

10.    Dilarang menerima pemberian uang atau memiliki emas dan perak.

Setelah Majapahit runtuh dan Islam masuk ke seluruh wilayah Indonesia, ajaran  tentang lima pantangan itu tetap populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Lima pantangan itu adalah  Ma-Lima  (M-5), meliputi larangan:

1.    Mateni (membunuh)

2.    Maling (mencuri, mengambil bukan haknya secara tidak sah)

3.    Madon (berzina)

4.    Madat (mabok, meminum minuman keras)

5.    Main (berjudi).  

B.       Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara

     Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dr. Radjiman Wedyodiningrat, dalam pidato pembukaan sidang masa persidangan pertama melontarkan pertanyaan “Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk?”. Terhadap pertanyaan tersebut, beberapa orang anggota merasa khawatir jika hal tersebut akan menjadi perdebatan filosofis yang berkepanjangan, sehingga mereka menghendaki langsung pada pembicaraan tentang Undang Undang Dasar saja. Akan tetapi ternyata persoalan dasar negara menjadi pembahasan utama dalam persidangan itu. Menurut  Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (Muh. Yamin, 1959), terdapat tiga orang anggota yang  mengajukan rancangan Dasar Negara, yaitu Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.

Muh. Yamin menyampaikan pidato pada hari pertama, tgl. 29 Mei 1945, antara lain menyatakan : “..... kewajiban yang terpikul di atas kepala dan kedua belah bahu kita ialah suatu kewajiban yang sangat istimewa. Kewajiban untuk menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar dari susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan .....”. Lebih lanjut dikemukakan lima prinsip dasar negara, yaitu: 

1.    Peri Kebangsaan

2.    Peri Kemanusiaan

3.    Peri Ketuhanan

4.    Peri Kerakyatan 

5.    Kesejahteraan Rakyat. 

Kelima prinsip dasar negara tersebut disampaikan Yamin secara lisan dalam pidatonya. Sesudah itu, ia menyampaikan secara tertulis rancangan Undang Undang Dasar yang di dalamnya tercantum lima prinsip dasar negara, yaitu: 

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa

2.    Kebangsaan persatuan Indonesia

3.    Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

4.    Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perihal pidato Yamin tersebut terdapat kontroversi. Menurut Mohammad Hatta, rumusan yang disampaikan Yamin tersebut adalah konsep yang diucapkan di depan Panitia Sembilan. Panitia yang dibentuk dan  bekerja sesudah selesainya masa sidang pertama itu menghasilkan naskah rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Sementara itu Nugroho Notosusanto (1981: 26) yang menganggap autentik isi Naskah Persiapan Undang Undang Dasar berkesimpulan bahwa Muh. Yamin adalah salah seorang pengusul rancangan dasar negara, bahkan orang pertama yang mengajukan konsep dasar negara, yakni pada tgl. 29 Mei 1945 itu.

Soepomo yang berpidato pada hari ketiga, tgl. 31 Mei 1945, antara lain menyatakan bahwa pertanyaan tentang dasar negara pada dasarnya adalah pertanyaan tentang staatsidee (cita-cita negara). Staatsidee berkaitan dengan pertanyaan, teori apa yang akan dianut oleh negara Indonesia Merdeka nanti? Untuk menjawab pertanyaan itu, Soepomo mengajukan tiga teori, yaitu teori perorangan, teori golongan, dan teori integralistik. Yang dimaksud teori perorangan adalah individualisme. Yang dimaksud teori golongan adalah adalah sosialisme atau kolektivisme. Adapun yang dimaksud teori integralistik, menurut Hegel, adalah idealisme absolut. Teori integralistik pada umumya lebih dipahami seperti yang dikemukan Hegel, yang sifatnya totaliter. Namun teori integralistik yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan dalam segala lapangan (Yamin, 1959: 110-113; Pranarka, 1985: 28-29).

Dalam perkembangannya, pada masa Orde Baru telah diselenggarakan seminar atas inisiatif BP-7 untuk membahas kontroversi penafsiran tentang istilah negara integralistik, yang kemudian muncul kecenderungan untuk menggunakan istilah negara persatuan (Moerdiono, dkk, 1995: 15). 

Soekarno yang menyampaikan pidato pada hari keempat atau hari terakhir masa sidang pertama, tgl. 1 Juni 1945, antra lain menyatakan bahwa apa yang telah disampaikan para anggota tidak memenuhi permintaan atau menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI tentang dasar negara. Menurut Soekarno, dasar negara itu adalah philosofische grondslag, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, suatu fondamen yang di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. Dasar negara itu adalah weltanschauung (dasar hidup bersama suatu bangsa) (Pranarka, 1985: 31). Selanjutnya ia mengemukakan lima prinsip dasara negara, yaitu :

1.      Kebangsaan Indonesia 

2.      Internasionalisme atau Perikemanusiaan

3.      Mufakat atau Demokrasi

4.      Kesejahteraan sosial  

5.      Ketuhanan yang berkebudayaan. 

Sesuai dengan petunjuk seorang ahli bahasa, yang tidak disebutkan namanya, Soekarno menyebut dasar negara yang diusulkan itu dengan nama Pancasila, yang berarti lima asas atau lima dasar. Pada bagian akhir pidatonya, Soekarno masih menawarkan kemungkinan dasar negara yang lain, yaitu Trisila yang isinya adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan, atau Ekasila yang isinya adalah gotong-royong (Pranarka, 1985: 31-33) .

Berdasar uraian tersebut, Pancasila sebagai nama dasar negara diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Soekarno dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI pada tgl. 1 Juni 1945. Atas dasar itulah muncul pendapat bahwa tgl. 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Pada tahun 1947, pidato tersebut diterbitkan menjadi sebuah buku kecil, yang oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantarnya disebut pidato lahirnya Pancasila (Roestandi, dkk, 1988: 69). Semantara itu, Nugroho Notosusanto (1981: 27) tidak menolak bahwa “nama Pancasila” untuk dasar negara muncul pertama kali pada tgl. 1 Juni 1945. Bahkan ia menyatakan bahwa Soekarno adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengusulkan “dasar negara dengan nama Pancasila”. Akan tetapi, Soekarno bukan yang pertama kali mengusulkan rumusan dasar negara, sebab telah ada tokoh lain yang telah mengusulkan sebelumnya. Tentang nama Pancasila, dalam pengertian tidak sebatas sebagai dasar negara, Nugroho mengutip pidato Presiden Soekarno sendiri pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara tgl 5 Juni 1958, yang mengatkan “saya bukan pembentuk atau pencipta Pancasila, tapi sekedar sebagai penggali Pancasila”. 

Pendapat Nugroho tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh A.G. Pringgodigdo dalam tulisannya yang berjudul Sekitar Pancasila (Nugroho Notosusanto, 1981: 68). Bagi Soenario, tulisan A.G. Pringgodigdo tersebut dianggap sangat mengherankan, karena bertentangan dengan hasil Panitia Lima. Panitia Lima dibentuk oleh Presiden Soeharto yang bertugas untuk meneliti kebenaran autentik tentang berbagai kontroversi tentang Pancasila, yang beranggotakan tokoh-tokoh tua pelaku sejarah, terdiri dari Dr. Mohammad Hatta sebagai ketua serta Prof. Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Prof. Mr. Soenario, dan  Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo sebagai anggota. Panitia ini mengadakan sidang-sidangnya pada bulan Januari-Februari 1975 Sesudah berakhirnya masa sidang pertama pada tgl. 1 Juni 1945, kepada para anggota diberikan kesempatan waktu 20 hari untuk mengajukan usul-usul tertulis yang berkaitan dengan pembentukan negara Indonesia Merdeka. Untuk menampung usul-usul tersebut dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari delapan orang, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh. Yamin, dan A.A. Maramis.

Atas prakarsa panitia kecil tersebut, pada tgl. 22 Juni 1945 bertempat di kantor Jawa Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, organisasi yang dibentuk setelah POETERA dibubarkan) diselenggarakan pertemuan anggota BPUPKI ditambah anggota Tyoo Sangi In yang berada di Jakarta. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencapai modus kompromi sehubungan dengan munculnya perbedaan-perbedaan pandangan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam. Terminologi kedua golongan tersebut lebih dimaksudkan sebagai  penggolongan atau pengelompokan ideologi politik. Mohammad Hatta, misalnya, adalah seorang nasionalis dengan semangat kebangsaannya yang sangat kuat, namun juga seorang penganut Islam yang sangat taat. Di pihak lain, sebagaimana yang dipersoalkan oleh Wachid Hasyim, tokoh-tokoh golongan Islam juga tidak kurang nasionalistisnya. Di samping pengelompokan kedua golongan tersebut dikenal pula adanya golongan Barat Sekuler, yang menonjol dengan usulannya untuk memasukkan ketentuanketentuan di dalam Hukum Dasar tentang hak-hak asasi manusia dan pertanggungjawaban Menteri kepada DPR.

Untuk menghasilkan modus kompromi itu, pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya Panitia Sembilan, yang terdiri dari:

1.      Soekarno

2.      Mohammad Hatta

3.      A.A. Maramis

4.      Wachid Hasjim

5.      Abdul Kahar Muzakir

6.      H. Agus Salim

7.      Abikusno Tjokrosujoso

8.      Ahmad Soebardjo

9.      Muh. Yamin

Panitia ini pada tgl. 22 Juni 1945 itu pula menghasilkan sebuah naskah yang lebih dikenal dengan nama Piagam Jakarta, yang pada hakikatnya adalah rancangan Mukaddimah atau Pembukaan Hukum Dasar (kelak diubah istilahnya menjadi Pembukaan Undang Undang Dasar) (Notonagoro, 1955: 52). 

Pada hari pertama masa sidang kedua telah disampaikan laporan Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil tentang hasil inventarisasi usulan para anggota dan hasil modus kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Modus kompromi itu tertuang dalam rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau lazim disebut Piagam Jakarta.Rumusan rancangan Pembukaan Hukum Dasar itu hampir sama dengan rumusan Pembukaan Undang Undang Dasar yang berlaku hingga saat ini, dengan perbedaannya yang esensial (setelah diadakan perubahan) adalah pada alinea keempat yang berisi tentang dasar negara. Adapun rumusan Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:  

Pembukaan

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri- kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Sumber : A.M.W. Pranarka, 1985: 35-36

Pada akhir laporannya, Soekarno mengemukakan “inilah preambule yang bisa menghubungkan , mempersatukan segenap aliran fikiran yang ada di kalangan anggota anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Notonagoro, 1955: 54). Meskipun rancangan Pembukaan Hukum Dasar tersebut sudah dinyatakan sebagai modus kompromi, akan tetapi Ketua BPUPKI masih memberikan kesempatan kepada para anggota untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Selanjutnya sidang membentuk tiga kepanitiaan, yaitu (i) Panitia Perancang Hukum Dasar, yang diketuai oleh Soekarno, (ii) Panitia Pembelaan Tanah Air,  yang diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso, dan (iii) Panitia Keuangan dan Perekonomian, yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Di samping itu ditambah Panitia Penghalus Bahasa, yang terdiri dari Husein Djajadiningrat, H. Agus Salim, dan Soepomo. 

Panitia Perancang Hukum Dasar bertugas menyiapkan rancangan (i) Pernyataan Kemerdekaan, (ii) Pembukaan Hukum Dasar, dan (iii) Hukum Dasar. Rancangan Pernyataan Kemerdekaan diambil dari naskah Piagam Jakarta alinea pertama, kedua, dan ketiga, ditambah dengan pernyataan yang sangat panjang, kira-kira sepuluh alinea. Rancangan Pembukaan Hukum Dasar hampir sama rumusannya dengan alinea keempat naskah Piagam Jakarta. Rancangan Hukum Dasar terdiri dari 42 pasal. 

Terhadap rancangan Pembukaaan Hukum Dasar, khususnya pada tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”, ada keberatan dari Latuharhary yang mmperkirakan akibatnya terhadap pemeluk agama lain dan adat istiadat. Sementara itu, Wongsonagoro dan HuseinDjajadiningrat memperkirakan timbulnya fanatisme. Agus Salim dalam tanggapannya  menyatakan bahwa pertentangan antara hukum agama dan hukum adat bukan hal yang baru, namun pada umumnya dianggap telah selesai. Adapun keamanan pihak-pihak lain tidak tergantung pada kekuasaan negara, tapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu. Wachid Hasjim mengatakan bahwa paksaan-paksaan itu tidak akan terjadi, dengan berpegang pada dasar permusyawaratan. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil kembali menegaskan bahwa kalimat itui adalah hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah. Akhirnya setelah tidak ada lagi penolakan-penolakan, maka pokok-pokok dalam Pembukaan dapat diterima (Pranarka, 1985: 37-38).

Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokurisu Zyunbi Iinkai, yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Bersamaan dengan dibentuknya PPKI, maka BPUPKI dibubarkan. Sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menyelenggarakan sidang. Sidang tersebut mengambil keputusan penting bagi sistem ketatanegaran Republik Indonesia, yaitu : 

1.    Mengesahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar

2.    Mengesahkan Undang-Undang Dasar

3.    Memilih Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil  Presiden

4.    Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional. 

Dari keempat keputusan penting tersebut, yang perlu dibahas di sini adalah keputusan tentang pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Sebab, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah terdapat rumusan Pancasila dasar negara. Dengan demikian, pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar secara inklusif juga pengesahan dasar negara.

Sebelum pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar telah diadakan pembicaraan antara Bung Hatta dengan pemimpin-pemimpin Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan. Pembicaraan menyangkut keberatan wakil-wakil dari Indonesia Timur tentang rumusan tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”, yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Pembicaraan itu akhirnya menyepakati penggantian tujuh kata tersebut dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian rumusannya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesedian para pemimpin Islam tersebut menunjukkan  “jiwa besar” yang lebih mengutamakan bangsa dan negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan dari pada kepentingan golongan. 

Sejalan dengan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi RIS maupun UUD Sementara 1950, rumusan Pancasila juga senantiasa tercantum dalam Pembukaan/Mukadimah kedua konstitusi/UUD tersebut. Dalam Pembukaan Konstitusi RIS, yang berlaku 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, rumusan Pancasila dasar negara tercantum pada alinea ketiga sebagai berikut: 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Perikemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kerakyatan

5. Keadilan Sosial

Dalam Mukadimah UUD Sementara, yang berlaku 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, rumusan Pancasila dasar negara tercantum pada alinea keempat sebagai berikut: 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Perikemanusiaan

3. Kebangsaan

4. Kerakyatan

5. Keadilan Sosial

C.  Pancasila Sebagai Dasar Negara

Sebagai  dasar negara,  Pancasila menjadi dasar bagi penataan kehidupan bernegara, yang implementasinya diwujudkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber hukum bagi seluruh peraturan perundangundangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Demikian pula dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan itu, termasuk segala kebijakan yang dijalankan oleh penyelenggara kekuasaan negara. Dengan demikian, implementasi Pancasila sebagai dasar negara lebih bersifat yuridis dan politis. Dalam konsep pengamalan Pancasila, hal ini disebut pengamalan Pancasila secara objektif. 

Selanjutnya, apa saja macam-macam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan bagaimana pula hirarkhi atau tata urutannya? Pada masa yang lalu pernah terjadi ketidakjelasan macam peraturan perundang-undangan maupun hirarkhinya. Pada masa Orde Lama (1959-1965) pernah muncul sebuah bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut “Penetapan Presiden” (Penpres) yang kekuatan hukumnya sangat tinggi, sedangkan hal itu tidak dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan.

Guna menertibkan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada masa awal Orde Baru telah ditetapkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS tersebut menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia serta tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia pada masa itu adalah: 

 

1.      Undang-Undang Dasar 1945

2.      Ketetapan MPR

3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4.      Peraturan Pemerintah

5.      Keputusan Presiden

6.      Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya

Setelah memasuki era reformasi, Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR)  menetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-perundangan. Dalam ketetapan itu dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan adalah :

1.      Undang-Undang Dasar 1945

2.      Ketetapan MPR

3.      Undang-Undang

4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

5.      Peraturan Pemerintah

6.      Keputusan Presiden

7.      Peraturan Daerah

Dalam perkembangannya yang relatif cepat, macam-macam dan tata urutan  peraturan perundang-undangan itupun mengalam perubahan. Pada 22 Juni 2004diundangkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang di dalamnya dinyatakan tentang macam-macam peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 

1.      Undang-Undang Dasar 1945

2.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

3.      Peraturan Pemerintah

4.      Peraturan Presiden

5.      Peraturan Daerah yang terdiri atas :

a.       Peraturan Daerah Provinsi

b.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

c.       Peraturan Desa/peraturan yang setingkat 

 

D.      Penerapan nilai-nilai Pancasila

            Persoalan yang sering mengemukan tentang Pancasila adalah adanya ketidaksesuaian antara perilaku sebagian masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kasus-kasus yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan? Demikian pula halnya dengan penerapan Pancasila dalam penataan kehidupan bernegara. Dengan demikian, Pancasila dinilai kurang fungsional atau tidak operasional.

Persoalan fungsionalisasi, operasionalisasi, atau penerapan Pancasila memang tidak mudah, lebih-lebih jika dipersoalkan acuan atau rujukannnya yang baku. Sebab, rumusan Pancasila hanya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tidak disertai tafir, penjelasan, atau petunjuk pelaksanannya. Dengan demikian tidak tersedia instrumen pelaksanaan atau pengamalan Pancasila. Pada masa Orde Baru telah ditetapkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ketetapan MPR tersebut sangat populer sepanjang masa Orde Baru, yang jargonnya adalah ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penataran P4 diselenggarakan secara meluas, yang menjangkau semua pegawai negeri, seluruh mahasiswa dan siswa baru, serta berbagai lembaga kemasyarakatan. Fungsi P4 adalah sebagai penuntun dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tujuannya adalah agar Pancasila diamalkan dan menjadi kenyataan hidup sehari-hari. 

Setelah bergulirnya reformasi, beberapa produk Ketetapan MPR diakan peninjauan kembali. Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 akhirnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasar Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998. Dengan demikian tidak  satupun acuan yang secara formal berlaku guna melaksanakan Pancasila. Berhubung dengan hal tersebut maka pedoman dalam penerapan Pancasila lebih didasarkan pada kesadaran moral disertai pertimbangan-pertimbangan rasional. Dengan kesadaran moral dan pertimbangan rasional, seseorang akan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, mencakup nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan, maupun keadilan sosial.

Tanpa bermaksud menghidupkan kembali P4, perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dapat didiskusikan secara terbuka atas dasar kesadaran moral dan pertimbangan rasional. Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu antara lain:

1.    Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa 

·         beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

·         beribadah menurut ajaran agamanya;

·         bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.

2.    Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ;

·         mengakui persamaan derajat sesama manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa;

·         menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan;

·         saling mencintai sesama manusia;

·         tidak semena-mena terhadap orang lain;

·         mengembangkan sikap tenggang rasa;

·         membela kebenaran dan keadilan;

·         merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.

3.    Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai persatuan Indonesia

·         memiliki semangat persatuan dan kesatuan bangsa;

·         menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;

·         rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;

·         memiliki rasa cinta tanah air;

·         memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia;

·         memiliki wawasan Nusantara

·         memiliki semangat Bhinneka Tunggal Ika

4.    Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;

·         suka bermusyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;

·         dalam bermusyawarah menggunakan akal sehat dan hati nurani yang luhur;

·         mengemukakan pendapat disertai dengan rasa tanggung jawab moral kepada Tuhan Yang Maha Esa;

·         menghargai perbedaan pendapat ;

·         menerima dan melaksanakan keputusan musyawarah.

5.    Perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

·         bersikap adil;

·         menghormati hak-hak orang lain;

·         suka menolong kesulitan orang lain;

·         tidak melakukan pemerasan pada orang lain;

·         mengembangkan sikap kekeluargaan dan gotong-royong;

·         menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;

·         tidak merugikan kepentingan umum;

·         memajukan kesejahteraan sosial. 

       Pengimplementasian Pancasila sebagai dasar negara bukan suatu pekerjaan yang mudah. Jelasnya, untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang isinya sesuai atau tidak bertentangan dengan jiwa, semangat, atau nilai-nilai yang terkandung dalam sila sila Pancasila itu tidak mudah. Hingga saat ini belum ada lembaga yang secara formal berwenang untuk menguji kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan  Pancasila itu. Hal yang mungkin dilakukan adalah membuka suatu wacana publik untuk memperdebatkan kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan Pancasila.     

Tentang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dikenal selama ini adalah pengujian tentang kesesuaiannya dengan UUD 1945. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk menguji kesesuaian Undang-Undang dengan Undang Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal tersebut dinyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sngketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sementara itu pengujian kesesuaian peraturan perundang undangan di bawah Undang-Undang dengan UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.  

E.  Kedudukan dan Fungsi Pancasila

Pancasila memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan strategis bagi berdiri dan tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau dengan kata lain untuk mendirikan bangunan negara Indonesia yang kekal dan abadi harus diatas fundamen yang kuat dan kokoh yang dapat mengikat dan mempersatukan elemenelemen masyarakat, yaitu Pancasila.

Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang lingkup yang sangat luas terutama berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila. Setiap kedudukan dan fungsi Pancasiia pada hakikatnya memiliki makna serta dimensi masing-masing yang konsekuensinya aktualisasinyapun juga memiliki aspek yang berbeda-beda, walaupun hakikat dan sumbernya sama. Pancasila sebagai dasar negara memiliki pengertian yang berbeda dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, demikian pula berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila yang lainnya.

Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral pembahasan adalah kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang dirumuskan oleh pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Namun hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia , adalah digali dari unsur-unsur yang berupa nilai-nilai yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri  yang berupa pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat dikem-balikan pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. (Kaelan, 2008).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok adalah pertama sebagai dasar negara Republik Indonesia dan yang kedua adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ketiga sebagai ideologi bangsa dan negara. Kaelan (2008)  menguraikan lebih mendalam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai berikut :

1.      Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dalam perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya sebagai suatu pandangan hidup. Nilai-nilai luhur adalah merupakan suatu tolok ukur kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam hidup manusia.

Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.

Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia tidaklah mungkin memenuhi segala kebutuhannya sendiri, oleh karena itu untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya, ia senantiasa memerlukan orang lain. Dalam pengertian inilah maka manusia pribadi senantiasa hidup sebagai bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas, secara berturut-turut, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa dan lingkungan negara yang merupakan lembagalembaga masyarakat utama yang diharapkan dapat menyalurkan dan mewujudkan pandangan hidupnya. Dengan demikian dalam kehidupan bersama dalam suatu negara membutuhkan suatu tekad kebersamaan, cita-cita yang ingin dicapainya yang bersumber pada pandangan hidupnya tersebut.

Dalam pengertian inilah maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa dan selanjutnya pandangan hidup bangsa dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara. Pandangan hidup bangsa dapat disebut sebagai ideologi bangsa (nasional), dan pandangan hidup negara dapat disebut, sebagai ideologi negara.

Dalam proses penjabaran dalam kehidupan modern antara pandangan hidup masyarakat dengan pandangan hidup bangsa memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. Pandangan hidup bangsa diproyeksikan kembali kepada pandangan hidup masyarakat serta tercermin dalam sikap hidup pribadi warganya. Dengan demikian dalam negara Pancasila pandangan hidup masyarakat tercermin dalam kehidupan negara yaitu Pemerintah terikat oleh kewajiban konstitusional, yaitu kewajiban Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, Darmodihardjo (dalam Kaelan 2008). Skema hubungan tersebut adalah sebagai berikut.

 

Transformasi pandangan hidup masyarakat menjadi pandangan hidup bangsa dan akhirnya menjadi dasar negara juga terjadi pada pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat-istiadat, dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan yang ada pada masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah terintis sejak zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928. Kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia "Sembilan", serta sidang PPKI kemudian ditentukan dan disepakati sebagai dasar negara republik Indonesia, dan dalam pengertian inilah maka Pancasila sebagai Pandangan Hidup negara dan sekaligus sebagai Ideologi Negara.

Bangsa Indoensia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya dan nilai-nilai religiusnya. Dengan pandangan hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. Dengan suatu pandangan hidup yang diyakininya bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidak terombang-ambing .dalam menghadapi persoalan tersebut. Dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenai dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya. ekonomi, hukum, hankam dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkandung di dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat. Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman.

Sebagai inti sari dari nilai budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan sehari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.      Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Gronslag) dari negara, ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan lain perkataan Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penye-lenggaraan negara terutama segala peraturan perundangundangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini, dijabarkan dan diderivasikan dari nilai-nilai Pancasila. Maka Pancasila merupakan Sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan negara.

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UndangUndang Dasar maupun yang tidak tertulis atau konvensi. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a)        Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerokhanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran,

b)        Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari UndangUndang Dasar 1945.

c)        Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis

d)        Mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lainlain penyelenggara negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut: "..... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ".

e)        Merupakan sumber semangat bagi Udang-undang Dasar 1945, bagi penyelenggara negara, para pelaksana pemerintahan (juga para penyelenggara partai dan golongan fungsional). Hal ini dapat dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, karena masyarakat dan negara Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yang bersumber pada asas kerokhanian negara sebagai pandangan hidup bangsa, maka dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerokhanian negara.

Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang bunyinya sebagai berikut:" ......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hik-mat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ".

Pengertian kata ".... Dengan berdasar kepada ..." hal ini secara yuridis memiliki makna sebagai dasar negara. Walaupun dalam kalimat terakhir Pembukaan UUD 1945 tidak tercantum kata 'Pancasila' secara eks-plisit namun anak kalimat "... dengan berdasar kepada ...." Ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis sebagaimana ditentukan oleh BPUPKI bahwa dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.

Sebagaimana telah ditentukan oleh pembentukan negara bahwa tujuan utama dirumuskannnya Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik hidonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, ketetapan No XX/MPRS/1966. (Jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978). Di-jelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia. Selanjutnya dikatakannya bahwa cita-cita tersebut adalah meliputi cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia.

Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui Sidang Istimewa tahun 1998, mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Tap. No. XVIII/MPR/1998. Oleh karena itu segala agenda dalam proses reformasi, yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada kenyataan aspirasi rakyat (Sila IV) juga harus mendasarkan pada nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, bahkan harus bersumber kepadanya.

3.      Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologiideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilainilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat hidonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat hidonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila .

Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara hidonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Selain itu Pancasila juga bukan hanya merupakan ideide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif. Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.

4.      Pancasila sebagai Ideologi yang Reformatif, Dinamis dan Terbuka

Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek serta zaman.

Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang bersifat tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat operasional, oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi dilaksanakan dengan inter-pretasi yang kritis dan rasional, Soeryanto (dalam Kaelan 2008). Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi Pancasila antara lain dalam kaitannya dengan kebebasan berserikat berkumpul sekarang terdapat 48 partai politik, dalam kaitan dengan ekonomi (misalnya ekonomi kerakyatan), demikian pula dalam kaitannya dengan pendidikan, hukum, kebudayaan, iptek, hankam dan bidang lainnya.

Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut:

Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai dasar tersebut adalah merupakan esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal, sehingga dalam nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga oleh karena Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila maka Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif sehingga dalam negara memiliki kedudukan sebagai 'Staatsfundamentalnorm' atau pokok kaidah negara yang fundamental. Sebagai ideologi terbuka nilai dasar inilah yang bersifat tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup negara, sehingga mengubah Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai dasar ideologi Pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran negara. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggaraan negara, hubungan antara lembaga penyelenggara negara beserta rugas dan wewenangnya.

Nilai Instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya Garis-Garis Besar Haluan Negara yang lima tahun senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman serta aspirasi masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai lembaga pelaksanaan dan lain sebagainya. Pada aspek ini senantiasa , dapat dilakukan perubahan (reformatif).

Nilai Praksis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instramental dalara suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan se-hari-hari dalam berniasyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat (dalam Kaelan 2008). Dalam realisasi praksis inilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasila senantisa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi serat aspirasi rnasyarakat.

Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilainilai yang dianggap baik, juga harus memiliki norma yang jelas karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan praksis yang merupakan suatu aktualisasi secara kongkret. Oleh karena itu Pancasila sebagai ideologi terbuka secara struktural memiliki tiga dimensi yaitu:

(1)  Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila). Karena setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat, Soeryanto (dalam Kaelan 2008). Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi para pendukungnya untuk berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan (Koento Wibisono, 1989).

(2) Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam negara Indonesia serta merupakan Staatsfundamentalnorm (Pokok Kaidah Negara yang Fundamental). Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki norma yang jelas, Soeryanto (dalam Kaelan2008).

(3)  Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencer-minkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus mampu dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (konkrit) baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat 'utopis' yang hanya berisi ideide yang bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yang bersifat 'realistis' artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan nyata.

Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebaga ideologi terbuka, maka sifat ideologi Pancasila tidak bersifat 'utopis' yaitu hanya merupakan sistem ide ide belaka yang jauh dari kehidupan seharihari secara nyata. Demikian pula ideologi Pancasila bukanlah merupakan suatu 'doktrin' belaka yang bersifat tertutup yang merupakan norma-norma yang beku. melainkan di samping memiliki idealisme, Pancasila juga bersifat nyata dan reformatif yang mampu melakukan perubahan. Akhirnya Pancasila juga bukan merupakan suatu ideologi yang 'pragmatis' yang hanya menekankan segi praktis-praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar (hakikat sila-sila Pancasila) yang bersifat universal dan tetap, adapun penjabaran dan realisasinya senantiasan dieksplisitkan secara dinamis reformatif yang senantiasa mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat. Hal inilah yang merupakan aspek penting dalam negara sebab suatu negara harus memiliki landasan nilai, dasar nilai serta asas kerokhanian yang jelas yang memberikan arahan, motivasi, serta visi bagi bangsa dan negara dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin tidak menentu ini. Proses reformasi yang dewasa ini agar tidak terjebak pada suatu ajang perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang merupakan kekuatan sosial politik negara maka, sudah seharusnya melakukan revitalisasi ideologi negara yang merupakan dasar hidup bersama.

Implementasi nilai-nilai Pancasila itu perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan  falsafah dan pandangan bangsa Indonesia. Yudi Latif, (kompas 28/3/2011), menguraikan pentingnya kembali ke Pancasila, dalam mengatasi krisis kebangsaan. 

“Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pemimpin itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar „rumah‟. seseorang bertanya, „ apa gerangan yang kalian cari?‟ anak anak negeri itu pun menjawab, „kunci rumah‟. Memangnya dimana hilangnya kunci itu?, „Didalam rumah sendiri‟. „Mengapa kalian cari di luar rumahmu? “Karena rumah kami gelap “.

 


 

LATIHAN SOAL

Pilih satu jawaban yang benar di antara alternatif pada huruf A,B,C, dan D!  Berilah tanda silang (X) pada huruf pilihan Anda!

1.      Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI dalam pembukaan masa  persidangan pertama badan itu adalah tentang ....

A.    dasar negara

B.     hukum dasar

C.     undang-undang

D.    Undang Undang Dasar

2.      Penerapan sila kemanusiaan yang adil dan beradab dapat diwujudkan dalam perilaku antara lain ....

A.    menghargai gagasan orang lain

B.     mengembangkan sikap kekeluargaan

C.     tidak melakukan plagiat karya orang lain

D.    tidak merendahkan martabat orang lain

3.      Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI dalam pembukaan masa persidangan pertama badan itu adalah tentang ....

A.    dasar negara

B.     hukum dasar

C.     undang-undang

D.    Undang Undang Dasar

4.      Golongan Barat Sekuler dalam BPUPKI lebih menonjol dengan usulannya tentang ....

A.    negara federasi

B.     demokrasi liberal

C.     kabinet presidensial

D.    hak-hak asasi manusia

5.      Tokoh-tokoh tersebut di bawah ini adalah perumus naskah Piagam Jakarta, kecuali ....

A.    H. Agus Salim

B.     Wachid Hasyim

C.     Ki Bagus Hadikusumo

D.    Abikusno Tjokrosujoso

6.      Panitia Perancang Hukum Dasar bertugas menyiapkan rancangan berikut ini, kecuali ....

A.    Pernyataan Kemerdekaan

B.     Pembukaan Hukum Dasar

C.     Hukum Dasar

D.    Penjelasan Hukum Dasar

7.      Bentuk peraturan  perundang-undangan yang tidak pernah dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah ....

A.    Penetapan Presiden

B.     Peraturan Presiden

C.     Keputusan Presiden

D.    Peratauran Pemerintah

8.      Secara etimologis, istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata panca dan syila (vocal-i : pendek), yang berarti ….

A.       lima patokan

B.       Lima pantangan

C.       lima batu sendi atau alas

D.       lima peraturan tingkah laku yang baik

9.      Istilah pancasila sudah terdapat dalam buku Negarakertagama, karya seorang

pujangga Majapahit yang bernama ….

A.    Empu Sedah

B.     Empu Panuluh

C.     Empu Tantular

D.    Empu Prapanca

10.  Pancasila dimaksudkan sebagai sistem filsafat bagi bangsa dan negara Republik

Indonesia, sehingga Pancasila seharusnya berfungsi sebagai acuan dalam  ....

A.    memilih landasan filosofis yang kokoh bagi pembangunan nasional

B.     mengenali jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain 

C.     memahami secara mendalam  berbagai kenyataan dan masalah hidup

D.    memilih pandangan hidup bersama menuju kebahagiaan lahir dan batin

 

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Pancasila sebagai Budaya luhur bangsa, pancasila sebagai dasar negara, dan nilai – nilai pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan asas kelima sila pancasila.

Fungsi Pancasila yang pokok adalah pertama sebagai dasar negara Republik Indonesia dan yang kedua adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ketiga sebagai ideologi bangsa dan negara.

B.       Kritik dan Saran

Menyadari bahwa penyusun makalah masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penyusun akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penyusunan makalah dan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.


 

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma

Kaelan, 2008, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta, Paradigma

Moerdiono, dkk. (1995). Cita Negara Persatuan Indonesia. (Penyunting Seprapto, dkk) Jakarta: BP-7 Pusat.

Pranarka, A.M.W. (1985). Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.

Kompas, 28 Maret 2011, Kembali ke Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar