MAKALAH PERAN DAN FUNGSI PANCASILA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu
Panca berarti lima dan sila berarti dasar atau azas. Pancasila berarti lima
dasar atau lima azas. Diatas lima dasar inilah berdirinya Negara Republik
Indonesia. Pancasila dipilih menjadi dasar negara karena Pancasila sesuai
dengan alam kejiwaan bangsa kita sendiri, seperti apa yang pernah dikatakan
oleh Bung Karno “ sudah jelas kalau kita mau mencari dasar yang statis, maka
dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa
Indonesia” Ernest Renan mengatakan bahwa “setiap bangsa mempunyai suatu jiwa “
(une nation, est une ame). Bangsa Indonesia mempunyai satu jiwa yang disebut
kepribadian bangsa Indonesia. Tegasnya Pancasila adalah manifestasi dari kepribadian
bangsa Indonesia. Disamping itu Pancasila merupakan tuntunan yang dinamis,
seperti Bung Karno menyebutkan sebagai
“leidster” bintang pimpinan, kearah mana bangsa dan negara Indonesia harus
digerakkan.
Rumusan
Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai platform demokratis berbagai
golongan khususnya dari kaum kebangsaan dan Islam. Pancasila ditrasformasikan
menjadi konsep politik dalam konteks pemikiran politik Indonesia sebagai dasar
negara berisi lima prinsip.
Pancasila sebagai
dasar filsafati negara Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai
yang bersifat sistematis. Sebagai suatu dasar filsafat, silasila dalam
Pancasila atau kelima sila yang ada di dalamnya merupakan suatu sistim yaitu
merupakan satu kesatuan yang bulat, hierarkis dan sistematis, maka kelima sila
bukan terpisah pisah melainkan memiliki makna yang utuh yang merupakan sistim
nilai (Kaelan,2008). Hal ini sesuai dengan pengertian sebelumnya bahwa dasar
negara terkandung didalamnya seperangkat nilai. Pancasila berisi lima nilai
yang merupakan nilai dasar fundamental bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan nilai keadilan.
Nilai-nilai Pancasila merupakan rumusan ideal, bersifat das sollen dan
cita-cita yang harus diwujudkan dalam kenyataan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja fungsi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?
2. Apa
saja peran pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
fungsi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
2. Mengetahui peran pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara
BAB II
PEMBAHASAN
“FUNGSI DAN PERAN PANCASILA DALAM
KEHIDUPAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA”
A.
Pancasila
Sebagai Budaya Luhur Bangsa
Secara
etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni kata pancasyila atau pancasyiila. Pancasyila (dengan huruf “i” pendek) yang
berarti lima alas atau lima dasar;
sedangkan pancasyiila (dengan huruf “ii” panjang) yang berarti lima peraturan tingkah laku yang baik. Dalam kajian
akademik, pembahasan tentang latar belakang
Pancasila pada umumnya menunjuk pada sumber buku Negarakertagama, karya Empu
Prapanca di masa Majapahit. Di dalamnya ditemukan penggunaan kata “pancasila”
yang berbunyi : Yatnanggegwani pancasyila kertasangskara bhisekakarama, artinya
: Raja menjalankan lima pantangan dengan setia, begitu pula upacara-upacara
ibadat dan penobatan-penobatan.
Rujukan
itu menunjukkan bahwa Pancasila pada awalnya lebih dilihat pada dimensi etis-moralnya
serta menjadi alasan pembenar bahwa Pancasila memiliki latar belakang sejarah
serta sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian, Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai
luhur budaya bangsa Indonesia, yang berakar sejak ratusan tahun yang silam,
jauh sebelum Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Nilai-nilai itu
mewarnai kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang diaktualisasikan dalam
sikap dan perilaku.
Menurut
Ismaun (1972), istilah Pancasila mula-mula digunakan di kalangan pemeluk Budha
di India, khususnya di kalangan orang-orang biasa (bukan pendeta). Pancasila
merupakan lima pantangan, yaitu :
1. Janganlah
mencabut nyawa setiap yang hidup atau dilarang membunuh;
2. Janganlah
mengambil barang yang tidak diberikan atau dilarang mencuri;
3. Janganlah
bersebadan secara tidak sah dengan perempuan atau dilarang berzina;
4. Janganlah
berkata palsu atau dilarang berdusta;
5. Janganlah
meminum minuman yang merusak pikiran, maksudnya dilarang minum minuman
keras.
Sementara
itu di kalangan para pendeta (bhiksu) dikenal adanya dasasyila (sepuluh pantangan),
yaitu :
1. Dilarang
membunuh;
2. Dilarang
mencuri;
3. Dilarang
berzina
4. Dilarang
berdusta;
5. Dilarang
minum minuman keras;
6. Dilarang
makan berlebih-lebihan;
7. Dilarang
hidup bermewah-mewah dan berpesiar;
8. Dilarang
memakai pakain yang bagus-bagus, perhiasan, dan wangi-wangian.
9. Dilarang
tidur di tempat tidur yang mewah;
10. Dilarang
menerima pemberian uang atau memiliki emas dan perak.
Setelah
Majapahit runtuh dan Islam masuk ke seluruh wilayah Indonesia, ajaran tentang lima pantangan itu tetap populer di
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Lima pantangan itu adalah Ma-Lima
(M-5), meliputi larangan:
1. Mateni
(membunuh)
2. Maling
(mencuri, mengambil bukan haknya secara tidak sah)
3. Madon
(berzina)
4. Madat
(mabok, meminum minuman keras)
5. Main
(berjudi).
B. Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara
Ketua
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dr.
Radjiman Wedyodiningrat, dalam pidato pembukaan sidang masa persidangan pertama
melontarkan pertanyaan “Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk?”.
Terhadap pertanyaan tersebut, beberapa orang anggota merasa khawatir jika hal
tersebut akan menjadi perdebatan filosofis yang berkepanjangan, sehingga mereka
menghendaki langsung pada pembicaraan tentang Undang Undang Dasar saja. Akan
tetapi ternyata persoalan dasar negara menjadi pembahasan utama dalam
persidangan itu. Menurut Naskah
Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (Muh. Yamin, 1959), terdapat tiga orang
anggota yang mengajukan rancangan Dasar
Negara, yaitu Mr. Muh. Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Muh.
Yamin menyampaikan pidato pada hari pertama, tgl. 29 Mei 1945, antara lain menyatakan
: “..... kewajiban yang terpikul di atas kepala dan kedua belah bahu kita ialah
suatu kewajiban yang sangat istimewa. Kewajiban untuk menyelidiki bahan-bahan
yang akan menjadi dasar dari susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana
kemerdekaan .....”. Lebih lanjut dikemukakan lima prinsip dasar negara,
yaitu:
1. Peri
Kebangsaan
2. Peri
Kemanusiaan
3. Peri
Ketuhanan
4. Peri
Kerakyatan
5. Kesejahteraan
Rakyat.
Kelima prinsip dasar negara tersebut
disampaikan Yamin secara lisan dalam pidatonya. Sesudah itu, ia menyampaikan
secara tertulis rancangan Undang Undang Dasar yang di dalamnya tercantum lima
prinsip dasar negara, yaitu:
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kebangsaan
persatuan Indonesia
3. Rasa
kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perihal
pidato Yamin tersebut terdapat kontroversi. Menurut Mohammad Hatta, rumusan yang
disampaikan Yamin tersebut adalah konsep yang diucapkan di depan Panitia
Sembilan. Panitia yang dibentuk dan
bekerja sesudah selesainya masa sidang pertama itu menghasilkan naskah
rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Sementara itu Nugroho Notosusanto (1981: 26) yang menganggap autentik isi
Naskah Persiapan Undang Undang Dasar berkesimpulan bahwa Muh. Yamin adalah
salah seorang pengusul rancangan dasar negara, bahkan orang pertama yang
mengajukan konsep dasar negara, yakni pada tgl. 29 Mei 1945 itu.
Soepomo
yang berpidato pada hari ketiga, tgl. 31 Mei 1945, antara lain menyatakan bahwa
pertanyaan tentang dasar negara pada dasarnya adalah pertanyaan tentang
staatsidee (cita-cita negara). Staatsidee berkaitan dengan pertanyaan, teori
apa yang akan dianut oleh negara Indonesia Merdeka nanti? Untuk menjawab
pertanyaan itu, Soepomo mengajukan tiga teori, yaitu teori perorangan, teori
golongan, dan teori integralistik. Yang dimaksud teori perorangan adalah
individualisme. Yang dimaksud teori golongan adalah adalah sosialisme atau
kolektivisme. Adapun yang dimaksud teori integralistik, menurut Hegel, adalah
idealisme absolut. Teori integralistik pada umumya lebih dipahami seperti yang
dikemukan Hegel, yang sifatnya totaliter. Namun teori integralistik yang dimaksudkan
oleh Soepomo adalah negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang
mengatasi seluruh golongan dalam segala lapangan (Yamin, 1959: 110-113;
Pranarka, 1985: 28-29).
Dalam
perkembangannya, pada masa Orde Baru telah diselenggarakan seminar atas inisiatif
BP-7 untuk membahas kontroversi penafsiran tentang istilah negara
integralistik, yang kemudian muncul kecenderungan untuk menggunakan istilah
negara persatuan (Moerdiono, dkk, 1995: 15).
Soekarno
yang menyampaikan pidato pada hari keempat atau hari terakhir masa sidang
pertama, tgl. 1 Juni 1945, antra lain menyatakan bahwa apa yang telah
disampaikan para anggota tidak memenuhi permintaan atau menjawab pertanyaan
Ketua BPUPKI tentang dasar negara. Menurut Soekarno, dasar negara itu adalah
philosofische grondslag, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, suatu
fondamen yang di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. Dasar negara itu
adalah weltanschauung (dasar hidup bersama suatu bangsa) (Pranarka, 1985: 31).
Selanjutnya ia mengemukakan lima prinsip dasara negara, yaitu :
1. Kebangsaan
Indonesia
2. Internasionalisme
atau Perikemanusiaan
3. Mufakat
atau Demokrasi
4. Kesejahteraan
sosial
5. Ketuhanan
yang berkebudayaan.
Sesuai
dengan petunjuk seorang ahli bahasa, yang tidak disebutkan namanya, Soekarno
menyebut dasar negara yang diusulkan itu dengan nama Pancasila, yang berarti
lima asas atau lima dasar. Pada bagian akhir pidatonya, Soekarno masih
menawarkan kemungkinan dasar negara yang lain, yaitu Trisila yang isinya adalah
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan, atau Ekasila yang isinya
adalah gotong-royong (Pranarka, 1985: 31-33) .
Berdasar
uraian tersebut, Pancasila sebagai nama dasar negara diperkenalkan untuk
pertama kalinya oleh Soekarno dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI pada tgl.
1 Juni 1945. Atas dasar itulah muncul pendapat bahwa tgl. 1 Juni 1945 sebagai
hari lahirnya Pancasila. Pada tahun 1947, pidato tersebut diterbitkan menjadi
sebuah buku kecil, yang oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata
pengantarnya disebut pidato lahirnya Pancasila (Roestandi, dkk, 1988: 69).
Semantara itu, Nugroho Notosusanto (1981: 27) tidak menolak bahwa “nama
Pancasila” untuk dasar negara muncul pertama kali pada tgl. 1 Juni 1945. Bahkan
ia menyatakan bahwa Soekarno adalah orang pertama dan satu-satunya yang
mengusulkan “dasar negara dengan nama Pancasila”. Akan tetapi, Soekarno bukan
yang pertama kali mengusulkan rumusan dasar negara, sebab telah ada tokoh lain
yang telah mengusulkan sebelumnya. Tentang nama Pancasila, dalam pengertian
tidak sebatas sebagai dasar negara, Nugroho mengutip pidato Presiden Soekarno
sendiri pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara tgl 5 Juni 1958,
yang mengatkan “saya bukan pembentuk atau pencipta Pancasila, tapi sekedar
sebagai penggali Pancasila”.
Pendapat
Nugroho tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh A.G. Pringgodigdo
dalam tulisannya yang berjudul Sekitar Pancasila (Nugroho Notosusanto, 1981:
68). Bagi Soenario, tulisan A.G. Pringgodigdo tersebut dianggap sangat
mengherankan, karena bertentangan dengan hasil Panitia Lima. Panitia Lima
dibentuk oleh Presiden Soeharto yang bertugas untuk meneliti kebenaran autentik
tentang berbagai kontroversi tentang Pancasila, yang beranggotakan tokoh-tokoh
tua pelaku sejarah, terdiri dari Dr. Mohammad Hatta sebagai ketua serta Prof.
Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Prof. Mr. Soenario, dan Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo sebagai anggota.
Panitia ini mengadakan sidang-sidangnya pada bulan Januari-Februari 1975 Sesudah
berakhirnya masa sidang pertama pada tgl. 1 Juni 1945, kepada para anggota
diberikan kesempatan waktu 20 hari untuk mengajukan usul-usul tertulis yang
berkaitan dengan pembentukan negara Indonesia Merdeka. Untuk menampung
usul-usul tersebut dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari delapan
orang, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasyim,
Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh. Yamin, dan A.A. Maramis.
Atas
prakarsa panitia kecil tersebut, pada tgl. 22 Juni 1945 bertempat di kantor
Jawa Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, organisasi yang dibentuk
setelah POETERA dibubarkan) diselenggarakan pertemuan anggota BPUPKI ditambah
anggota Tyoo Sangi In yang berada di Jakarta. Pertemuan itu dimaksudkan untuk
mencapai modus kompromi sehubungan dengan munculnya perbedaan-perbedaan
pandangan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam. Terminologi kedua
golongan tersebut lebih dimaksudkan sebagai
penggolongan atau pengelompokan ideologi politik. Mohammad Hatta,
misalnya, adalah seorang nasionalis dengan semangat kebangsaannya yang sangat
kuat, namun juga seorang penganut Islam yang sangat taat. Di pihak lain,
sebagaimana yang dipersoalkan oleh Wachid Hasyim, tokoh-tokoh golongan Islam
juga tidak kurang nasionalistisnya. Di samping pengelompokan kedua golongan
tersebut dikenal pula adanya golongan Barat Sekuler, yang menonjol dengan
usulannya untuk memasukkan ketentuanketentuan di dalam Hukum Dasar tentang
hak-hak asasi manusia dan pertanggungjawaban Menteri kepada DPR.
Untuk
menghasilkan modus kompromi itu, pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya
Panitia Sembilan, yang terdiri dari:
1. Soekarno
2. Mohammad
Hatta
3. A.A.
Maramis
4. Wachid
Hasjim
5. Abdul
Kahar Muzakir
6. H.
Agus Salim
7. Abikusno
Tjokrosujoso
8. Ahmad
Soebardjo
9. Muh.
Yamin
Panitia
ini pada tgl. 22 Juni 1945 itu pula menghasilkan sebuah naskah yang lebih
dikenal dengan nama Piagam Jakarta, yang pada hakikatnya adalah rancangan
Mukaddimah atau Pembukaan Hukum Dasar (kelak diubah istilahnya menjadi
Pembukaan Undang Undang Dasar) (Notonagoro, 1955: 52).
Pada
hari pertama masa sidang kedua telah disampaikan laporan Ir. Soekarno selaku
Ketua Panitia Kecil tentang hasil inventarisasi usulan para anggota dan hasil
modus kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Modus kompromi
itu tertuang dalam rancangan Pembukaan Hukum Dasar atau lazim disebut Piagam Jakarta.Rumusan
rancangan Pembukaan Hukum Dasar itu hampir sama dengan rumusan Pembukaan Undang
Undang Dasar yang berlaku hingga saat ini, dengan perbedaannya yang esensial
(setelah diadakan perubahan) adalah pada alinea keempat yang berisi tentang
dasar negara. Adapun rumusan Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
|
Pembukaan Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri- kemanusiaan dan
peri-keadilan. Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan
ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu hukum dasar
Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada : Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. |
Sumber : A.M.W. Pranarka, 1985: 35-36
Pada
akhir laporannya, Soekarno mengemukakan “inilah preambule yang bisa
menghubungkan , mempersatukan segenap aliran fikiran yang ada di kalangan
anggota anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Notonagoro, 1955: 54). Meskipun
rancangan Pembukaan Hukum Dasar tersebut sudah dinyatakan sebagai modus
kompromi, akan tetapi Ketua BPUPKI masih memberikan kesempatan kepada para
anggota untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Selanjutnya sidang membentuk
tiga kepanitiaan, yaitu (i) Panitia Perancang Hukum Dasar, yang diketuai oleh
Soekarno, (ii) Panitia Pembelaan Tanah Air,
yang diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso, dan (iii) Panitia Keuangan
dan Perekonomian, yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Di samping itu ditambah
Panitia Penghalus Bahasa, yang terdiri dari Husein Djajadiningrat, H. Agus
Salim, dan Soepomo.
Panitia
Perancang Hukum Dasar bertugas menyiapkan rancangan (i) Pernyataan Kemerdekaan,
(ii) Pembukaan Hukum Dasar, dan (iii) Hukum Dasar. Rancangan Pernyataan
Kemerdekaan diambil dari naskah Piagam Jakarta alinea pertama, kedua, dan
ketiga, ditambah dengan pernyataan yang sangat panjang, kira-kira sepuluh
alinea. Rancangan Pembukaan Hukum Dasar hampir sama rumusannya dengan alinea
keempat naskah Piagam Jakarta. Rancangan Hukum Dasar terdiri dari 42
pasal.
Terhadap
rancangan Pembukaaan Hukum Dasar, khususnya pada tujuh kata di belakang kata
“Ketuhanan”, ada keberatan dari Latuharhary yang mmperkirakan akibatnya
terhadap pemeluk agama lain dan adat istiadat. Sementara itu, Wongsonagoro dan
HuseinDjajadiningrat memperkirakan timbulnya fanatisme. Agus Salim dalam
tanggapannya menyatakan bahwa
pertentangan antara hukum agama dan hukum adat bukan hal yang baru, namun pada
umumnya dianggap telah selesai. Adapun keamanan pihak-pihak lain tidak
tergantung pada kekuasaan negara, tapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu.
Wachid Hasjim mengatakan bahwa paksaan-paksaan itu tidak akan terjadi, dengan
berpegang pada dasar permusyawaratan. Soekarno selaku Ketua Panitia Kecil
kembali menegaskan bahwa kalimat itui adalah hasil kompromi yang dicapai dengan
susah payah. Akhirnya setelah tidak ada lagi penolakan-penolakan, maka
pokok-pokok dalam Pembukaan dapat diterima (Pranarka, 1985: 37-38).
Pada
tanggal 7 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokurisu Zyunbi Iinkai, yang diketuai
oleh Ir. Soekarno. Bersamaan dengan dibentuknya PPKI, maka BPUPKI dibubarkan.
Sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
menyelenggarakan sidang. Sidang tersebut mengambil keputusan penting bagi
sistem ketatanegaran Republik Indonesia, yaitu :
1. Mengesahkan
Pembukaan Undang-Undang Dasar
2. Mengesahkan
Undang-Undang Dasar
3. Memilih
Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
4. Menetapkan
bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite
Nasional.
Dari
keempat keputusan penting tersebut, yang perlu dibahas di sini adalah keputusan
tentang pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Sebab, di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 itulah terdapat rumusan Pancasila dasar negara. Dengan demikian,
pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar secara inklusif juga pengesahan dasar
negara.
Sebelum
pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar telah diadakan pembicaraan antara Bung
Hatta dengan pemimpin-pemimpin Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim,
Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan. Pembicaraan menyangkut keberatan
wakil-wakil dari Indonesia Timur tentang rumusan tujuh kata di belakang kata
“Ketuhanan”, yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemelukpemeluknya”. Pembicaraan itu akhirnya menyepakati penggantian tujuh kata
tersebut dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian rumusannya menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesedian para pemimpin Islam tersebut
menunjukkan “jiwa besar” yang lebih
mengutamakan bangsa dan negara Republik Indonesia yang baru saja
diproklamasikan dari pada kepentingan golongan.
Sejalan
dengan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi
RIS maupun UUD Sementara 1950, rumusan Pancasila juga senantiasa tercantum
dalam Pembukaan/Mukadimah kedua konstitusi/UUD tersebut. Dalam Pembukaan
Konstitusi RIS, yang berlaku 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, rumusan
Pancasila dasar negara tercantum pada alinea ketiga sebagai berikut:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Perikemanusiaan
3.
Kebangsaan
4.
Kerakyatan
5.
Keadilan Sosial
Dalam
Mukadimah UUD Sementara, yang berlaku 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, rumusan
Pancasila dasar negara tercantum pada alinea keempat sebagai berikut:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Perikemanusiaan
3.
Kebangsaan
4.
Kerakyatan
5.
Keadilan Sosial
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Sebagai dasar negara,
Pancasila menjadi dasar bagi penataan kehidupan bernegara, yang
implementasinya diwujudkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber hukum bagi seluruh peraturan
perundangundangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Demikian pula
dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan itu, termasuk segala kebijakan
yang dijalankan oleh penyelenggara kekuasaan negara. Dengan demikian,
implementasi Pancasila sebagai dasar negara lebih bersifat yuridis dan politis.
Dalam konsep pengamalan Pancasila, hal ini disebut pengamalan Pancasila secara
objektif.
Selanjutnya,
apa saja macam-macam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia dan bagaimana pula hirarkhi atau tata urutannya? Pada masa yang lalu
pernah terjadi ketidakjelasan macam peraturan perundang-undangan maupun
hirarkhinya. Pada masa Orde Lama (1959-1965) pernah muncul sebuah bentuk peraturan
perundang-undangan yang disebut “Penetapan Presiden” (Penpres) yang kekuatan
hukumnya sangat tinggi, sedangkan hal itu tidak dikenal dalam sistem peraturan
perundang-undangan.
Guna
menertibkan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, pada masa awal
Orde Baru telah ditetapkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS
tersebut menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia serta tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia pada
masa itu adalah:
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Ketetapan
MPR
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan
Pemerintah
5. Keputusan
Presiden
6. Peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya
Setelah memasuki era reformasi, Majelis
Permusyawaran Rakyat (MPR) menetapkan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-perundangan. Dalam ketetapan itu dinyatakan bahwa sumber hukum dasar
nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan adalah :
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Ketetapan
MPR
3. Undang-Undang
4. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5. Peraturan
Pemerintah
6. Keputusan
Presiden
7. Peraturan
Daerah
Dalam
perkembangannya yang relatif cepat, macam-macam dan tata urutan peraturan perundang-undangan itupun mengalam
perubahan. Pada 22 Juni 2004diundangkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang di dalamnya dinyatakan tentang
macam-macam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-Undang
Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan
Pemerintah
4. Peraturan
Presiden
5. Peraturan
Daerah yang terdiri atas :
a. Peraturan
Daerah Provinsi
b. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
c. Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat
D.
Penerapan
nilai-nilai Pancasila
Persoalan yang sering
mengemukan tentang Pancasila adalah adanya ketidaksesuaian antara perilaku
sebagian masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa dalam kehidupan sehari-hari
sering kali terjadi kasus-kasus yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan? Demikian pula halnya dengan
penerapan Pancasila dalam penataan kehidupan bernegara. Dengan demikian,
Pancasila dinilai kurang fungsional atau tidak operasional.
Persoalan fungsionalisasi,
operasionalisasi, atau penerapan Pancasila memang tidak mudah, lebih-lebih jika
dipersoalkan acuan atau rujukannnya yang baku. Sebab, rumusan Pancasila hanya
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tidak disertai tafir,
penjelasan, atau petunjuk pelaksanannya. Dengan demikian tidak tersedia instrumen
pelaksanaan atau pengamalan Pancasila. Pada masa Orde Baru telah ditetapkan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Ketetapan MPR tersebut sangat populer sepanjang masa Orde Baru,
yang jargonnya adalah ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen. Penataran P4 diselenggarakan secara meluas, yang menjangkau
semua pegawai negeri, seluruh mahasiswa dan siswa baru, serta berbagai lembaga
kemasyarakatan. Fungsi P4 adalah sebagai penuntun dalam menghayati dan
mengamalkan Pancasila. Tujuannya adalah agar Pancasila diamalkan dan menjadi
kenyataan hidup sehari-hari.
Setelah bergulirnya reformasi, beberapa
produk Ketetapan MPR diakan peninjauan kembali. Ketetapan MPR No. II/MPR/1978
tentang P4 akhirnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasar Ketetapan MPR
No. XVIII/MPR/1998. Dengan demikian tidak
satupun acuan yang secara formal berlaku guna melaksanakan Pancasila.
Berhubung dengan hal tersebut maka pedoman dalam penerapan Pancasila lebih
didasarkan pada kesadaran moral disertai pertimbangan-pertimbangan rasional.
Dengan kesadaran moral dan pertimbangan rasional, seseorang akan mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, mencakup nilai-nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan, maupun keadilan sosial.
Tanpa bermaksud menghidupkan kembali P4,
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dapat didiskusikan secara
terbuka atas dasar kesadaran moral dan pertimbangan rasional. Perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu antara lain:
1. Perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
·
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
·
beribadah menurut ajaran agamanya;
·
bersikap toleran terhadap pemeluk agama
lain.
2. Perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ;
·
mengakui persamaan derajat sesama manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa;
·
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan;
·
saling mencintai sesama manusia;
·
tidak semena-mena terhadap orang lain;
·
mengembangkan sikap tenggang rasa;
·
membela kebenaran dan keadilan;
·
merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia.
3. Perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai persatuan Indonesia
·
memiliki semangat persatuan dan kesatuan
bangsa;
·
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan pribadi atau golongan;
·
rela berkorban untuk kepentingan bangsa
dan negara;
·
memiliki rasa cinta tanah air;
·
memiliki kebanggaan sebagai bangsa
Indonesia;
·
memiliki wawasan Nusantara
·
memiliki semangat Bhinneka Tunggal Ika
4. Perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
·
suka bermusyawarah dalam mengambil
keputusan untuk kepentingan bersama;
·
dalam bermusyawarah menggunakan akal sehat
dan hati nurani yang luhur;
·
mengemukakan pendapat disertai dengan rasa
tanggung jawab moral kepada Tuhan Yang Maha Esa;
·
menghargai perbedaan pendapat ;
·
menerima dan melaksanakan keputusan
musyawarah.
5. Perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
·
bersikap adil;
·
menghormati hak-hak orang lain;
·
suka menolong kesulitan orang lain;
·
tidak melakukan pemerasan pada orang lain;
·
mengembangkan sikap kekeluargaan dan
gotong-royong;
·
menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban;
·
tidak merugikan kepentingan umum;
·
memajukan kesejahteraan sosial.
Pengimplementasian Pancasila sebagai dasar negara bukan suatu pekerjaan
yang mudah. Jelasnya, untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang
isinya sesuai atau tidak bertentangan dengan jiwa, semangat, atau nilai-nilai
yang terkandung dalam sila sila Pancasila itu tidak mudah. Hingga saat ini
belum ada lembaga yang secara formal berwenang untuk menguji kesesuaian suatu
peraturan perundang-undangan dengan
Pancasila itu. Hal yang mungkin dilakukan adalah membuka suatu wacana
publik untuk memperdebatkan kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan
dengan Pancasila.
Tentang pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan yang dikenal selama ini adalah pengujian tentang
kesesuaiannya dengan UUD 1945. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan
bahwa untuk menguji kesesuaian Undang-Undang dengan Undang Undang Dasar 1945
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal tersebut dinyatakan : “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang
Dasar, memutus sngketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sementara itu pengujian kesesuaian peraturan
perundang undangan di bawah Undang-Undang dengan UUD 1945 dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan : “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang”.
E. Kedudukan dan Fungsi Pancasila
Pancasila
memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan strategis bagi berdiri
dan tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau dengan kata lain untuk
mendirikan bangunan negara Indonesia yang kekal dan abadi harus diatas fundamen
yang kuat dan kokoh yang dapat mengikat dan mempersatukan elemenelemen
masyarakat, yaitu Pancasila.
Pancasila
sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang lingkup yang sangat luas
terutama berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila. Setiap kedudukan dan
fungsi Pancasiia pada hakikatnya memiliki makna serta dimensi masing-masing
yang konsekuensinya aktualisasinyapun juga memiliki aspek yang berbeda-beda,
walaupun hakikat dan sumbernya sama. Pancasila sebagai dasar negara memiliki
pengertian yang berbeda dengan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, demikian pula berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Pancasila yang
lainnya.
Dari
berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral pembahasan
adalah kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia,
hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang dirumuskan oleh pembentuk
negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia. Namun
hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia , adalah digali dari unsur-unsur yang berupa nilai-nilai yang
terdapat pada bangsa Indonesia sendiri
yang berupa pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari
berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat dikem-balikan
pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
(Kaelan, 2008).
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok
adalah pertama sebagai dasar negara Republik Indonesia dan yang kedua adalah
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ketiga sebagai ideologi bangsa dan
negara. Kaelan (2008) menguraikan lebih
mendalam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai berikut :
1.
Pancasila
sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dalam perjuangan untuk mencapai
kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang
dijunjungnya sebagai suatu pandangan hidup. Nilai-nilai luhur adalah merupakan
suatu tolok ukur kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar
dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya dalam
hidup manusia.
Pandangan
hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah
suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup
berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi
maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial manusia tidaklah mungkin memenuhi segala
kebutuhannya sendiri, oleh karena itu untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya, ia senantiasa memerlukan orang lain. Dalam pengertian inilah
maka manusia pribadi senantiasa hidup sebagai bagian dari lingkungan sosial
yang lebih luas, secara berturut-turut, lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, lingkungan bangsa dan lingkungan negara yang merupakan
lembagalembaga masyarakat utama yang diharapkan dapat menyalurkan dan
mewujudkan pandangan hidupnya. Dengan demikian dalam kehidupan bersama dalam
suatu negara membutuhkan suatu tekad kebersamaan, cita-cita yang ingin
dicapainya yang bersumber pada pandangan hidupnya tersebut.
Dalam
pengertian inilah maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat dituangkan
dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa dan selanjutnya pandangan hidup
bangsa dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup negara. Pandangan
hidup bangsa dapat disebut sebagai ideologi bangsa (nasional), dan pandangan
hidup negara dapat disebut, sebagai ideologi negara.
Dalam
proses penjabaran dalam kehidupan modern antara pandangan hidup masyarakat
dengan pandangan hidup bangsa memiliki hubungan yang bersifat timbal balik.
Pandangan hidup bangsa diproyeksikan kembali kepada pandangan hidup masyarakat
serta tercermin dalam sikap hidup pribadi warganya. Dengan demikian dalam
negara Pancasila pandangan hidup masyarakat tercermin dalam kehidupan negara
yaitu Pemerintah terikat oleh kewajiban konstitusional, yaitu kewajiban
Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur,
Darmodihardjo (dalam Kaelan 2008). Skema hubungan tersebut adalah sebagai
berikut.
Transformasi pandangan hidup masyarakat
menjadi pandangan hidup bangsa dan akhirnya menjadi dasar negara juga terjadi
pada pandangan hidup Pancasila. Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar
negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa
Indonesia dalam adat-istiadat, dalam budaya serta dalam agama-agama sebagai
pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan yang ada pada masyarakat
Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa yang telah
terintis sejak zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian Sumpah Pemuda 1928. Kemudian
diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia
"Sembilan", serta sidang PPKI kemudian ditentukan dan disepakati sebagai
dasar negara republik Indonesia, dan dalam pengertian inilah maka Pancasila
sebagai Pandangan Hidup negara dan sekaligus sebagai Ideologi Negara.
Bangsa Indoensia dalam hidup bernegara
telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya
dan nilai-nilai religiusnya. Dengan pandangan hidup yang mantap maka bangsa
Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. Dengan
suatu pandangan hidup yang diyakininya bangsa Indonesia akan mampu memandang
dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidak
terombang-ambing .dalam menghadapi persoalan tersebut. Dengan suatu pandangan
hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedoman
bagaimana mengenai dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya.
ekonomi, hukum, hankam dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang
semakin maju.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
tersebut terkandung di dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang
dicita-citakan, terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud
kehidupan yang dianggap baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh
warganya karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan
hidup masyarakat. Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu
bangsa sehingga tidak boleh mematikan keanekaragaman.
Sebagai inti sari dari nilai budaya
masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang
memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk berperilaku luhur
dalam kehidupan sehari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila
dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar
Falsafah Negara (Philosofische Gronslag) dari negara, ideologi negara atau
(Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta
norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan lain perkataan Pancasila
merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensinya
seluruh pelaksanaan dan penye-lenggaraan negara terutama segala peraturan
perundangundangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini,
dijabarkan dan diderivasikan dari nilai-nilai Pancasila. Maka Pancasila
merupakan Sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah
hukum negara yang secara konstitusional mengatur negara Republik Indonesia
beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan
negara.
Sebagai
dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang meliputi suasana
kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma
serta kaidah, baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik
yang tertulis atau UndangUndang Dasar maupun yang tidak tertulis atau konvensi.
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum.
Sebagai
sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka
Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945,
kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran,
yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
dikongkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945, serta hukum
positif lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat
dirinci sebagai berikut:
a)
Pancasila sebagai dasar negara adalah
merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia.
Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerokhanian tertib hukum Indonesia
yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok
pikiran,
b)
Meliputi suasana kebatinan
(Geistlichenhintergrund) dari UndangUndang Dasar 1945.
c)
Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum
dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis
d)
Mengandung norma yang mengharuskan
Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lainlain
penyelenggara negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan
fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai
berikut: "..... Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab ".
e)
Merupakan sumber semangat bagi
Udang-undang Dasar 1945, bagi penyelenggara negara, para pelaksana pemerintahan
(juga para penyelenggara partai dan golongan fungsional). Hal ini dapat
dipahami karena semangat adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, karena masyarakat dan negara Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Dengan semangat yang
bersumber pada asas kerokhanian negara sebagai pandangan hidup bangsa, maka
dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas
kerokhanian negara.
Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV
yang bunyinya sebagai berikut:" ......maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hik-mat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ".
Pengertian kata ".... Dengan berdasar
kepada ..." hal ini secara yuridis memiliki makna sebagai dasar negara.
Walaupun dalam kalimat terakhir Pembukaan UUD 1945 tidak tercantum kata
'Pancasila' secara eks-plisit namun anak kalimat "... dengan berdasar
kepada ...." Ini memiliki makna dasar negara adalah Pancasila. Hal ini
didasarkan atas interpretasi historis sebagaimana ditentukan oleh BPUPKI bahwa
dasar negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila.
Sebagaimana telah ditentukan oleh
pembentukan negara bahwa tujuan utama dirumuskannnya Pancasila adalah sebagai
dasar negara Republik Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah
sebagai dasar negara Republik hidonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, ketetapan No XX/MPRS/1966. (Jo
Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978). Di-jelaskan bahwa
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum
Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana
kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia. Selanjutnya dikatakannya bahwa
cita-cita tersebut adalah meliputi cita-cita mengenai kemerdekaan individu,
kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan
mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita
moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan
dari budi nurani manusia.
Dalam proses reformasi dewasa ini MPR
melalui Sidang Istimewa tahun 1998, mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Tap. No. XVIII/MPR/1998. Oleh
karena itu segala agenda dalam proses reformasi, yang meliputi berbagai bidang
selain mendasarkan pada kenyataan aspirasi rakyat (Sila IV) juga harus
mendasarkan pada nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak
mungkin menyimpang dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan
serta keadilan, bahkan harus bersumber kepadanya.
3.
Pancasila
sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Sebagai
suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan
hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok
orang sebagaimana ideologiideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari
nilai-nilai adat-istiadat, nilainilai kebudayaan serta nilai religius yang
terdapat dalam pandangan hidup masyarakat hidonesia sebelum membentuk negara,
dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak
lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat hidonesia sendiri, sehingga
bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila .
Unsur-unsur
Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara,
sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan
negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
hidonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya
mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Selain itu Pancasila juga
bukan hanya merupakan ideide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya
memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila
berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila pada
hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif.
Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa
Indonesia.
4.
Pancasila
sebagai Ideologi yang Reformatif, Dinamis dan Terbuka
Pancasila
sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat
reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila
adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika
perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti
mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan
wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif
untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring
dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek serta zaman.
Dalam
ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang bersifat
tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat operasional, oleh
karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan
menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui
refleksi yang rasional sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian
penjabaran ideologi dilaksanakan dengan inter-pretasi yang kritis dan rasional,
Soeryanto (dalam Kaelan 2008). Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi
Pancasila antara lain dalam kaitannya dengan kebebasan berserikat berkumpul
sekarang terdapat 48 partai politik, dalam kaitan dengan ekonomi (misalnya
ekonomi kerakyatan), demikian pula dalam kaitannya dengan pendidikan, hukum,
kebudayaan, iptek, hankam dan bidang lainnya.
Berdasarkan
pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang terkandung dalam
ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut:
Nilai
Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai dasar tersebut adalah merupakan
esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal, sehingga dalam nilai
dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan
benar. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
sehingga oleh karena Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila maka
Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum
tertinggi, sebagai sumber hukum positif sehingga dalam negara memiliki
kedudukan sebagai 'Staatsfundamentalnorm' atau pokok kaidah negara yang
fundamental. Sebagai ideologi terbuka nilai dasar inilah yang bersifat tetap
dan terlekat pada kelangsungan hidup negara, sehingga mengubah Pembukaan UUD
1945 yang memuat nilai dasar ideologi Pancasila tersebut sama halnya dengan
pembubaran negara. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945 yang didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggaraan
negara, hubungan antara lembaga penyelenggara negara beserta rugas dan
wewenangnya.
Nilai
Instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga
pelaksanaannya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi, penjabaran lebih
lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya Garis-Garis Besar
Haluan Negara yang lima tahun senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman
serta aspirasi masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai lembaga
pelaksanaan dan lain sebagainya. Pada aspek ini senantiasa , dapat dilakukan
perubahan (reformatif).
Nilai
Praksis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instramental dalara suatu
realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan se-hari-hari dalam
berniasyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat (dalam Kaelan 2008). Dalam
realisasi praksis inilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasila senantisa
berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi)
sesuai dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi serat aspirasi
rnasyarakat.
Suatu
ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa cita-cita,
pemikiran-pemikiran serta nilainilai yang dianggap baik, juga harus memiliki
norma yang jelas karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam kehidupan
praksis yang merupakan suatu aktualisasi secara kongkret. Oleh karena itu Pancasila
sebagai ideologi terbuka secara struktural memiliki tiga dimensi yaitu:
(1) Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan
menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila
yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Hakikat
nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam Pancasila). Karena setiap ideologi bersumber
pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat, Soeryanto (dalam Kaelan
2008). Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu memberikan
harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi para pendukungnya untuk
berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan (Koento Wibisono, 1989).
(2)
Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-norma
kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam negara Indonesia serta
merupakan Staatsfundamentalnorm (Pokok Kaidah Negara yang Fundamental). Dalam
pengertian ini ideologi Pancasila agar mampu dijabarkan ke dalam langkah
operasional, maka perlu memiliki norma yang jelas, Soeryanto (dalam
Kaelan2008).
(3) Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi harus
mampu mencer-minkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh
karena itu Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif
maka Pancasila harus mampu dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata
(konkrit) baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan negara.
Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat 'utopis' yang
hanya berisi ideide yang bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yang
bersifat 'realistis' artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan
nyata.
Berdasarkan
dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebaga ideologi terbuka, maka sifat
ideologi Pancasila tidak bersifat 'utopis' yaitu hanya merupakan sistem ide ide
belaka yang jauh dari kehidupan seharihari secara nyata. Demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan suatu 'doktrin' belaka yang bersifat tertutup yang
merupakan norma-norma yang beku. melainkan di samping memiliki idealisme, Pancasila
juga bersifat nyata dan reformatif yang mampu melakukan perubahan. Akhirnya
Pancasila juga bukan merupakan suatu ideologi yang 'pragmatis' yang hanya
menekankan segi praktis-praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka
ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar
(hakikat sila-sila Pancasila) yang bersifat universal dan tetap, adapun
penjabaran dan realisasinya senantiasan dieksplisitkan secara dinamis
reformatif yang senantiasa mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika
aspirasi masyarakat. Hal inilah yang merupakan aspek penting dalam negara sebab
suatu negara harus memiliki landasan nilai, dasar nilai serta asas kerokhanian
yang jelas yang memberikan arahan, motivasi, serta visi bagi bangsa dan negara
dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin tidak menentu ini. Proses
reformasi yang dewasa ini agar tidak terjebak pada suatu ajang perebutan
kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang merupakan kekuatan sosial politik negara
maka, sudah seharusnya melakukan revitalisasi ideologi negara yang merupakan
dasar hidup bersama.
Implementasi
nilai-nilai Pancasila itu perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen
etis dan karakter bangsa berdasarkan
falsafah dan pandangan bangsa Indonesia. Yudi Latif, (kompas 28/3/2011),
menguraikan pentingnya kembali ke Pancasila, dalam mengatasi krisis
kebangsaan.
“Akibat
keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila,
terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pemimpin itu pun
redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak
anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar
„rumah‟. seseorang bertanya, „ apa gerangan yang kalian cari?‟ anak anak negeri
itu pun menjawab, „kunci rumah‟. Memangnya dimana hilangnya kunci itu?,
„Didalam rumah sendiri‟. „Mengapa kalian cari di luar rumahmu? “Karena rumah
kami gelap “.
LATIHAN SOAL
Pilih satu jawaban yang benar di
antara alternatif pada huruf A,B,C, dan D! Berilah tanda silang (X) pada huruf pilihan
Anda!
1. Pertanyaan
yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI dalam pembukaan masa persidangan pertama badan itu adalah tentang
....
A. dasar
negara
B. hukum
dasar
C. undang-undang
D. Undang
Undang Dasar
2. Penerapan
sila kemanusiaan yang adil dan beradab dapat diwujudkan dalam perilaku antara
lain ....
A. menghargai
gagasan orang lain
B. mengembangkan
sikap kekeluargaan
C. tidak
melakukan plagiat karya orang lain
D. tidak
merendahkan martabat orang lain
3. Pertanyaan
yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI dalam pembukaan masa persidangan pertama
badan itu adalah tentang ....
A. dasar
negara
B. hukum
dasar
C. undang-undang
D. Undang
Undang Dasar
4. Golongan
Barat Sekuler dalam BPUPKI lebih menonjol dengan usulannya tentang ....
A. negara
federasi
B. demokrasi
liberal
C. kabinet
presidensial
D. hak-hak
asasi manusia
5. Tokoh-tokoh
tersebut di bawah ini adalah perumus naskah Piagam Jakarta, kecuali ....
A. H.
Agus Salim
B. Wachid
Hasyim
C. Ki
Bagus Hadikusumo
D. Abikusno
Tjokrosujoso
6. Panitia
Perancang Hukum Dasar bertugas menyiapkan rancangan berikut ini, kecuali ....
A. Pernyataan
Kemerdekaan
B. Pembukaan
Hukum Dasar
C. Hukum
Dasar
D. Penjelasan
Hukum Dasar
7. Bentuk
peraturan perundang-undangan yang tidak
pernah dikenal dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah
....
A. Penetapan
Presiden
B. Peraturan
Presiden
C. Keputusan
Presiden
D. Peratauran
Pemerintah
8. Secara
etimologis, istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata
panca dan syila (vocal-i : pendek), yang berarti ….
A. lima
patokan
B. Lima
pantangan
C. lima
batu sendi atau alas
D. lima
peraturan tingkah laku yang baik
9. Istilah
pancasila sudah terdapat dalam buku Negarakertagama, karya seorang
pujangga
Majapahit yang bernama ….
A. Empu
Sedah
B. Empu
Panuluh
C. Empu
Tantular
D. Empu
Prapanca
10. Pancasila
dimaksudkan sebagai sistem filsafat bagi bangsa dan negara Republik
Indonesia,
sehingga Pancasila seharusnya berfungsi sebagai acuan dalam ....
A. memilih
landasan filosofis yang kokoh bagi pembangunan nasional
B. mengenali
jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain
C. memahami
secara mendalam berbagai kenyataan dan
masalah hidup
D. memilih
pandangan hidup bersama menuju kebahagiaan lahir dan batin
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pancasila
sebagai Budaya luhur bangsa, pancasila sebagai dasar negara, dan nilai – nilai
pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan asas
kelima sila pancasila.
Fungsi
Pancasila yang pokok adalah pertama sebagai dasar negara Republik Indonesia dan
yang kedua adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia ketiga sebagai
ideologi bangsa dan negara.
B.
Kritik
dan Saran
Menyadari bahwa penyusun makalah masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penyusun akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya
dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk
saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penyusunan makalah dan juga bisa
untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan. (1998).
Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma
Kaelan, 2008, Pendidikan
Pancasila, Yogyakarta, Paradigma
Moerdiono,
dkk. (1995). Cita Negara Persatuan Indonesia. (Penyunting Seprapto, dkk)
Jakarta: BP-7 Pusat.
Pranarka, A.M.W. (1985).
Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.
Kompas, 28 Maret 2011, Kembali ke
Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar